Minggu, 05 Maret 2017

Shallow Groundwater (Airtanah Dangkal)


Pendefinisian kata airtanah dangkal selalu menjadi perdebatan. Mengapa definisinya begitu penting? Hal ini karena pada banyak aturan ekstraksi airtanah seringkali pengambilan oleh masyarakat dan industri dibatasi oleh istilah airtanah dangkal dan airtanah dalam. Shallow groundwater seringkali digunakan untuk menggantikan istilah airtanah bebas (lebih tepat airtanah tidak tertekan) di Indonesia, meskipun sebenarnya sangat tidak tepat. Sudut pandang dalam pendefinisian airtanah bebas adalah bahwa airtanah tidak dibatasi oleh lapisan impermeable (kedap air), sedangkan shallow groundwater adalah pengertian yang didasarkan pada kedalaman muka airtanah, tidak peduli ada atau tidaknya lapisan impermeable.
Shallow groundwater di definisikan sebagai airtanah yang memiliki muka airtanah (atau keberadaannya) pada kedalaman kurang dari 30 meter. Namun demikian, beberapa peneliti menyebutkan bahwa yang dimaksud Shallow Groundwater adalah airtanah yang kedalamannya sangat dangkal, sehingga dapat memberikan kontribusi/pengaruh terhadap keberadaan lengas tanah (soil moisture storage). Hal ini menyebabkan pada beberapa material berbeda, semestinya kedalaman yang digunakan sebagai batas juga berbeda, misalnya 10 mm untuk gravel, 1,5 m untuk silt, dan beberapa meter untuk clay.
Shallow groundwater di Yogyakarta misalnya ditentukan berdasarkan penelitian McDonald and Partners (1979-1984). Airtanah dangkal didefinisikan sebagai airtanah dengan kedalaman kurang dari 40 meter. Batasan ini didasarkan pada penelitian di atas, bahwa Cekungan Airtanah (CAT) Yogyakarta-Sleman (wilayahnya mulai dari Seleman, Kodya Yogyakarta dan Bantul) tersusun atas 2 lapisan formasi sebagai akuifer yaitu Formasi Yogyakarta dan Formasi Sleman. Kedalaman Formasi Yogyakarta di bagian atas rata-rata adalah 40 meter, sehingga batas airtanah dangkal di DIY adalah 40 meter. Bagi saya, airtanah dangkal adalah soal teknis yang memudahkan perkerjaan dan penegakan aturan dilapangan saja, bukan soal penyelamatan airtanah secara ilmiah...

Tantangan Geomorfologi


Bismillah, semoga keberkahan, keselamatan dan ridha Allah senantiasa melingkupi kehidupan kita.
Kenneth J. Gregory (University of London dan University of Southampton) dan Andrew Goudie (School of Geography, Oxford University dan President of the International Association of Geomorphology) pernah menulis paper dengan judul "Introduction to the Discipline of Geomorphology" yang menjadi chapter pembuka pada buku "Geomorphology (The SAGE Handbook) yang mengungkapkan setidaknya terdapat Sembilan (9) tantangan Ilmu Geomorfologi di masa kini dan mendatang. Berikut ringkasannya:
1. Bagaimana masa lalu planet Bumi dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan masa sekarang dan masa depan planet Bumi?
Dalam hal ini beliau berdua menyatakan bahwa diperlukan tools dan teknik baru untuk dapat menganalisis catatan alamiah tentang evolusi Bumi dan lingkungan di atasnya yang tersimpan pada stalagmit, lingkaran tahun pada pohon, sedimen, startigrafi, struktur pasif dan aktif batuan, fosil dll) untuk membantu menjelaskan proses yang terjadi sekarang dan memprediksi perubahan permukaan Bumi di masa mendatang.
2. Bagaimana pola geospasial pada permukaan Bumi terjadi dan bagaimanakah kita dapat memahami dengan baik prosesnya?
Bagian ini beliau berdua menjelaskan bahwa teknologi observasional dan geospasial yang baru dan powerful akan memudahkan menganalisis pola geospasial yang terbentuk.
3. Bagaimanakah bentanglahan merekam iklim dan tektonisme?
4. Bagaimanakah reaksi biogeokimia pada bentanglahan terjadi dan bentuk bentanglahan apa saja yang kemudian terbentuk (respon bentanglahan)?
Pada bagian ini beliau berdua menjelaskan bahwa erosi kimia dan pelapukan pada bedrock telah menghasilkan tanah yang sangat penting bagi kehidupan serta telah berperan pula dalam evolusi bentanglahan dan siklus nutrien.
5. Bagaimanakah hukum transport material menyebabkan evolusi permukaan Bumi?
Diperlukan hukum matematis yang dapat menjelaskan secara detail dan terukur serta mendefinisikan dasar dari tingkat suatu proses seperti longsorlahan, erosi glasial, erosi kimia, sehingga diketahui dengan baik mekanisme dan tingkat evolusi bentanglahan.
6. Bagaimanakah ekosistem dan bentanglahan dapat saling berinteraksi, bersinergi dan saling mempengaruhi?
Sangat penting memahami keterkaitan ekosistem kehidupan, proses pada permukaan Bumi dan Bentanglahan.
7. Apakah yang mengontrol kerentanan dan daya tahan/ resistensi bentanglahan untuk berubah?
Perubahan bentanglahan sangat dipengaruhi oleh iklim, tektonisme, magmatisme dan volkanisme, dan aktivitas manusia. Maka aktivitas mana yang dominan berperan, mana yang akan menyebabkan bencana dan sebagainya harus dapat dipahami. Selain itu perlu pula pemahaman tentang magnitude dan durasi yang masih dapat ditahan oleh bentanglahan sampai tidak mengalami perubahan yang membahayakan.
8. Bagaimanakah bentanglahan akan berubah di era antroposen?
Diperlukan pemahaman, kemampuan prediksi dan adaptasi terhadap perubahan bentanglahan yang meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan akibat aktivitas manusia. Diperlukan juga banyak kajian dampak aktivitas manusia terhadap bentanglahan.
9. Bagaimanakah ilmu Kebumian (termasuk Geomorfologi) dapat berkontribusi pada pembangunan keberlanjutan?

Climatic Geomorphology


Pada abad ke 20, terutama di Jerman dan Perancis, climatic geomorphology (CG) menjadi pendekatan utama yang digunakan. Bagaimanapun, ide tentang pentingnya iklim dalam mempengaruhi proses dan perkembangan bentanglahan telah dimulai pada abad 19. Banyak peneliti melakukan penelitian dan investigasi di luar Eropa. Dalam pandangan CG, iklim-lah yang dianggap menyebabkan perbedaan perkembangan bentanglahan di muka Bumi, bahkan pada lintang yang tingginya sama. Banyak di antaranya yang melakukan ekspedisi ilmiah ke daerah yang awalnya hanya sedikit diketahui kondisinya bahkan pada daerah daerah yang secara politis atau kemungkinan distribusi logistik tidak memungkinkan.
Perkembangan CG dimulai ketika mulai banyak dilakukan penelitian tentang proses periglasial dan permafrost. Sebelum perang dunia I dimulai, seorang peneliti bernama Lozinski kemudian memperkenalkan istilah yang mengakomodasi kajian CG waktu itu menjadi Geomorfologi Periglasial. Selain itu, beberapa peneliti lain juga mengenalkan istilah "Cold Climate Phenomena". Masa itu ditandai dengan banyaknya temuan tentang dasar-dasar proses glasial dan bentukan yang dihasilkan, gerak massa batuan, proses fluvial dan marin serta kajian pedologi.
Selain penelitian di lintang tinggi, penelitian CG banyak pula dilakukan di lintang tengah di masa itu. Selama penjajahan Perancis di Afrika Utara, penelitian terkait dengan pembentukan gumuk pasir, inselberg, deflasi, laterisasi, dan pelapukan kimia di Gurun Sahara sangat intensif dilakukan. Penelitian utamanya ditujukan untuk memahami mengapa gurun dapat terbentuk dan mengapa gurun dapat memiliki lingkungan yang berbeda secara ekstrem dengan wilayah lain di Bumi meskipun terletak pada ketinggian lintang yang sama.

Rujukan utama:
Goudie, A. 2011. Geomorphology: Its Early History.

Tracer Test untuk Karakterisasi Akuifer Kawasan Karst


Pemahaman akan kondisi hidrogeologi suatu kawasan menjadi sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya khususnya sumberdaya airtanah (Bakalowicz, 2011; Worthington, 2011; Cahyadi dkk., 2013). Kajian ini akan sangat membantu terkait analisis simpanan air di kawasan karst yanng dapat dimanfaatkan, analisis pengelolaan khususnya terkait dengan perlindungan airtanah dari polutan/ bahan pencemar serta perencanaan pengelolaan wilayah (Leibundgut et al., 2009).
Kawasan karst adalah kawasan yang berkembang akibat dominannya proses pelarutan. Berkembangnya porositas sekunder di kawasan karst menyebabkan wilayah ini memiliki karakteristik yang unik sekaligus memberikan tantangan tersendiri bagi pengelolaannya (Kresik, 2013). Zona anisotropis di mana aliran sulit diprediksi arah dan karakteristiknya menyebabkan kawasan karst seringkali belum dikelola sebagaimana mestinya.
Tipe aliran di kawasan karst secara garis besar dibedakan menjadi 2, yakni aliran airtanah melalui rongga antar butir batuan yang disebut diffuse dan aliran airtanah yang melalui celah atau lorong pelarutan yang disebut konduit. Meskipun demikian, banyak ahli yang kemudian menambahkan jenis antara keduanya yang melalui lorong yang relatif kecil dengan sebutan fissure. Masing-masing tipe aliran ini memiliki konsekuensi yang besar bagi sifat aliran, karakteristik hidrogeokimia dan karakteristik simpanan air di kawasan karst (White, 1989; Hess dan White, 1989).
Dominasi porositas sekunder dan sifat anisotropis di kawasan karst menyebabkan batas hidrologi dan batas topografi seringkali sama sekali tidak terkait (Milanović, 2004). Hal ini berbeda dengan wilayah lain yang didominasi porositas primer, di mana batas hidrologi seringkali sama dengan batas hidrologi berupa igir pegunungan (La Moreaux dan Daoxian, 2004). Oleh karenanya diperlukan suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan karakterisitik daerah tangkapan air dari sungai bawah tanah dan mataair untuk dapat menyusun suatu rencana pengelolaannya (Cahyadi dkk., 2013).
Awalnya banyak model yang dikembangkan di kawasan karst lebih berupa “Black Box”, namun seiring dengan perkembangan kajian dan kepentingan, maka kemudian banyak pula metode yang menganalisisi sistem hidrologi kawasan karst dengan model “Grey Box”, salah satunya adalah model invers modelling (Ford and Williams, 2007). Invers modelling adalah suatu metode yang dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa karakteristik output yang dikeluarkan dari mata air atau sungai bawah tanah mencerminkan proses yang terjadi di dalamnya (Rehrl dan Birk, 2010). Karakteristik yang dimaksud dapat berupa debit (hidrograf), karakteristik hidrokimia air (karakteristik unsur tertentu, isotop, bahan pencemar dan natural tracer lain), respon aliran terhadap hujan dan respon aliran terhadap artificial tracer (Rehrl dan Birk, 2010).
Tracer test atau sering pula disebut sebagai dye tracer adalah salah satu metode yang dapat digunakan dalam analisis invers modelling, dengan hasil yang cukup dapat diandalkan (Leibundgut et al., 2009; Gilli, 2015). Tracer test adalah metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan (konektivitas) antara beberapa goa, ponor, sink hole, sungai bawah tanah dan mataair dengan memasukkan zat pelacak (dapat berupa padat ataupun cair) tertentu ke dalam aliran (Benischke et al., 2007; Singhal dan Gupta, 2010). Analisis invers modelling dapat dilakukan dengan melakukan analisis terhadap kurva yang terbentuk dari fungsi konsentrasi zat pelacak dengan waktu atau disebut breakthrough curve. Stanley et al. (1980) menjelaskan bahwa tracer dalam jenis yang cukup kompleks meliputi air panas, spora, substansi ionik, isotop yang stabil, zat radioaktif, gas, florokarbon, dan pewarna alami. Bahan-bahan yang digunakan tidak sembarangan agar keuntungan yang diperoleh dari tracer test tidak diikuti dengan kerusakan lingkungan. Hal ini yang menjadi sebab banyaknya zat pelacak yang saat ini tidak diperbolehkan lagi untuk digunakan, misalnya radioaktif (Benischke et al., 2007).

Eksplorasi Geofisika


Geofisika adalah ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip fisika untuk mengetahui dan memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan bumi (Santoso, 2002). Perkembangan ilmu ini diawali dengan aplikasi-aplikasi dalam kajian eksplorasi mineral pada awal abad ke-20 (Singh, 2013). Aplikasinya semakin meningkat seiring dengan keberhasilannya dalam mendeteksi fenomena seperti mineral dan bahan tambang yang berada di bawah permukaan tanah (Weight, 2008). Perkembangannya semakin cepat sejak ditemukannya komputer pada tahun 1950-an sampai dengan 1960-an (Santoso, 2002).
Weight (2008) menyebutkan bahwa eksplorasi geofisika terdiri dari tiga tahapan, yaitu akuisisi data atau pengambilan data, pemrosesan data, serta interpretasi data yang telah diproses. Metode geofisika dalam kaitannya dengan eksplorasi sumberdaya airtanah telah banyak dikembangkan (Lagudu, 2013; Duerrast dan Srattakal, 2013), misalnya dengan menggunakan magnetik, elektromagnetik, gaya berat, kelistrikan dan seismik (Reynolds, 1997 dan Santoso, 2002). Pemanfaatan metode geofisika dilatarbelakangi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan studi dengan menggunakan data bor (Singh, 2013). Biaya yang relatif murah dengan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan pembuatan data bor dalam jumlah tertentu dan kedalaman tertentu menjadi alasan utama pemilihan metode eksplorasi geofisika khususnya terkait dengan aplikasinya untuk eksplorasi airtanah (Wischock, 2005). Namun demikian, Weight (2008) mengungkapkan bahwa eksplorasi geofisika memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

1. Kontras respon parameter geofisika antara satu material satu dengan material lain yang dianalisis seringkali samar-samar. Beberapa material seringkali memiliki karakteristik khas dengan rentang yang panjang dan beberapa memberikan respon yang hampir sama dengan material yang lain.
2. Resolusi yang dihasilkan seringkali rendah. Resolusi diartikan sebagai kemampuan untuk membedakan dua atau lebih kenampakkan dengan jelas. Resolusi ini juga terkait dengan kedetailan proses pengambilan data dan kemampuan sebuah metode untuk mengidentifikasi suatu kenampakkan yang berbeda.
3. Semua metode geofisika selalu memiliki gangguan (noise) dengan derajat tertentu. Noise diartikan sebagai gangguan yang menyebabkan hilangnya data, rusaknya data atau pengukuran yang tidak mencerminkan kondisi aslinya.
Metode eksplorasi geofisika dibagi menjadi dua, yakni metode aktif dan metode pasif (Weight, 2008). Metode aktif adalah metode yang menggunakan peralatan yang menghasilkan suatu tenaga atau sumberdaya sendiri, sedangkan metode pasif memanfaatkan tenaga atau sumberdaya yang dihasilkan secara alami oleh alam. Contoh metode aktif adalah geolistrik dan georadar, sedangkan contoh metode pasif adalah metode magnetik, elegtromagnetik, gaya berat dan seismik.

Sejarah Awal Penggunaan Terminologi Geomorfologi


Bismillah, semoga keberkahan dan rahmat Allah senantiasa tercurah kepada kita semua.
Kata Geomorfologi pertama kali ditemukan pada literatur berbahasa Jerman 1858. Kemudian terminologi ini dotemukan pula pada tahun 1866 pada tulisan Emmanuel de Magerie dengan kata "la geomorphologie". Terminologi Geomorphology dalam bahasa Inggris baru digunakan pertama kali tahun 1888. Terminologi ini kemudian digunakan secara resmi pada the Internasional Geological Congress pada tahun 1891 oleh McGee dan Paul.
Terminologi Geomorfologi mulai digunakan secara luas oleh USGS setelah tahun 1890an dan diterima secara umum sejak dilakukan kuliah umun Mackilder di Ipwoch, Inggris pada tahun 1895 ketika dia menyebutkan dalam papernya:
"what we now call Geomorphology, the causal description of earth's present relief or the half artistic, half genetic consideration of the form of the litosphere."
Tahun 1985 the international geographical congress di London memiliki sebuah sesi dengan judul Geomorphology dan di dalamnya A Penk mempresentasikan papernya dengan menggunakan terminologi "Geomorphology".
Meskipun pada akhir abad 19 Geomorfologi baru dapat didefinisikan, subjek studinya telah sejak awal telah dikenali, dan secara signifikan Geomorfologi memberikan pengaruh pembangunan keilmuan khususnya terkait dengan stratigrafi dan uniformitarianisme dalam geologi dan evolusi dalam bidang biologi di waktu tersebut. Keilmuan Geomorfologi selain banyak berkwmbang dari kajian Geologi, sumbangsih ahli ahli Geografi juga banyak memberikan warna tersendiri, seperti temuan W. M. Davis tentang siklus erosi, siklus glasial, membangun konsep stadium dalam Geomorfologi yang terdiri atas youth, maturity dan old age, serta mengusulkan bahwa fungsi bentanglahan terdiri dari struktur, proses dan stadium/waktu. Ide yang atraktif ini mendominasu kajian Geomorfologibdi setengah awal abad 20, dan kemudian menginspirasi kajian Geomorfologi di masa berikutnya.
Sumber:
Sepenuhnya disadur dari Gregory, K.J. dan Goudie, A. 2011. Introduction to the discipline of Geomorphology.

Biogeomorfologi


Semoga Allah menghindarkan kita dari ilmu yang tidak bermanfaat...
Biogeomorfologi atau sering pula disebut dengan ekogeomorfologi adalah cabang dari Geomorfologi yang fokus pada interaksi antara ekologi dan proses geomorfik. Cakupan dalam hal objek kajian sangatlah luas, seperti hubungan ketergantungan dari mikroorganisme dan pelapukan pada permukaan singkapan batuan, serta interaksi antara tutupan lahan dan dinamika fluvial pada daerah aliran sungai (DAS). Interaksi biogeomorfik terjadi di semua wilayah terestrial di Bumi, mulai dari zona hyper-arid, glasial, hutan hujan tropis sampai dengan wilayah yang didominasi oleh aktivitas manusia.
Biogeomorfologi juga memiliki kanvas (cakupan kajian) yang luas dengan berbagai skala, termasuk pada skala global. Biogeomorfologi juga memiliki banyak aplikasi praktis dalam kajian pengelolaan lingkungan. Teori teori geomorfik yang baru-baru ini mulai berkembang adalah terkait dengan penggabungan teori geomorfologi dan ekologi. Kajian biogeomorfologi seringkali juga dapat memberikan bukti yang kuat tentang proses geomorfologi masa lampau. Perubahan komunitas tanaman dan hewan dalam skala tektonik ternyata mengikuti pergerakan lempeng dan perubahan iklim yang terjadi di Bumi menjadi salah satu kajian cabang ilmu ini.
Bisa diakui, keilmuan biogeomorfologi belum banyak berkembang. Banyak peneliti telah melakukan kajian demikian, namun banyak pula yang tidak tahu bahwa kajiannya adalah bagian dari biogeomorfologi. Hal ini nampak dari tidak adanya jurnal khusus untuk cabang ilmu ini seperti cabang ilmu Geomorfologi yang lain, serta jarangnya orang yang mengaku dirinya "biogeomorfologis".
Tapi apakah semestinya kita yang belajar geografi lingkungan adalah bagian dari "biogeomorfologis" atau "ekogeomorfologis"?...
Disadur dari Viles, Heather. 2011. Biogeomorphology.
Sumber bacaan lain yang mungkin bisa membantu:
http://www.oxfordbibliographies.com/…/obo-9780199874002-006…
http://www.biogeomorphology.org/