Selasa, 21 Februari 2012

Kondisi Sanitasi dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Airtanah di Kawasan Karst Gunungkidul

Menururt Nayono, dkk (2011), yang melakukan penelitian di Kawasan Karst Gunungkidul dengan melibatkan 355 responden, terdapat tiga sistem sanitasi utama yang digunakan oleh penduduk antara lain toilet pribadi berbentuk leher angsa yang dihubungkan dengan septic tank (68 %), cemplung (30%) dan toilet umum baik leher angsa maupun cemplung (2%). Cemplung merupakan sistem sanitasi rumah tangga paling sederhana yang ditemukan di kawasan karst Gunungkidul. Cemplung memiliki kedalaman rata-rata 1-2 meter dan kadang-kadang bagian atasnya disemen atau ditutupi dengan kayu. Cemplung digunakan oleh kalangan masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah dan atau keterbatasan sumber air. Ketika kondisi ekonomi dan persediaan air meningkat, masyarakat akan berganti untuk menggunakan sistem toilet “leher angsa”. Nayono, dkk (2011) menyebutkan bahwa para pengguna cemplung, sebanyak 40% menyatakan tidak puas dengan kinerja cemplung dan sisanya menyatakan bahwa tidak pernah mengalami masalah. Permasalahan utama dalam penggunaan cemplung adalah kemungkinan cemplung untuk menjadi penuh sehingga tidak bisa digunakan kembali. Kebanyakan cemplung (44%) akan penuh setelah 4-5 tahun. Sedangkan yang lain, ada yang membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun (24%), 2-3 tahun (10%) dan tidak pernah penuh (22%). Selain itu, terdapat beberapa macam cara yang dilakukan oleh pengguna cemplung setelah cemplung menjadi penuh, akan tetapi cara yang dominan digunakan penduduk adalah ditutup dan ditinggalkan (82%), sedangkan cara yang lain antara lain ditutup dan digunakan sebagai tempat pembuangan sampah tradisional (4%), sebagai lokasi penanaman pohon (13%), dan digali untuk kemudian digunakan sebagai pupuk (1%). Sehubungan dengan fakta yang menunjukkan bahwa cemplung yang penuh digunakan untuk lokasi penanaman pohon (13%) dan beberapa digali kemudian diambil isinya untuk digunakan sebagai pupuk (1%) , maka dapat dikatakan bahwa konsep pemulihan sumberdaya (resource recvovery) telah dipraktekkan sejak lama oleh hampir seperlima dari jumlah penduduk setempat. Namun demikian, kondisi sanitasi yang demikian dapat menyebabkan airtanah menjadi tercemar karena air dari sanitasi ini akan meresap dengan sedikit penyaringan oleh tanah.

Nayono, dkk (2011) menyebutkan bahwa pada wilayah penelitian 68% responden menggunakan toilet leher angsa. Sebagian besar toilet tersebut dilengkapi dengan suatu konstruksi sederhana yang mereka sebut sebagai septic tank. Menurut mereka, sebuah septic tank adalah lubang tunggal berpori yang dihubungkan dengan toilet leher angsa menggunakan sebuah pipa. Padahal, sistem yang oleh penduduk setempat dianggap sebagai septic tank ini sebenarnya hanyalah sebuah lubang infiltrasi lanjutan. Menurut 58,2 % responden pemilik sistem ini, permeabilitas merupakan hal yang penting untuk membuat air limbah meresap ke dalam tanah sehingga, sebagian besar sistem yang dianggap sebagai septic tank ini tidak bersifat kedap air karena bagian dasar konstruksi tidak disemen. Lebih jauh lagi, bahan yang dipilih untuk membangun sistem ini kebanyakan merupakan batu berpori seperti batu gamping yang dengan mudah dapat diperoleh di kawasan karst. Sehubungan dengan konstruksi yang tidak sesuai ini, 92,5 % sistem tidak pernah penuh yang diakibatkan oleh sifat permeabilitas sehingga air limbah dapat langsung meresap ke dalam tanah dan dapat menjadi pemicu terjadinya pencemaran tanah dan air tanah. Hal ini umum terrjadi di tanah lempung atau liat yang memiliki suplai oksigen yang rendah sehubungan dengan penutupan pori-pori tanah oleh material tanah yang bersifat padat. Lebih lanjut lagi, pencemaran tanah menimbulkan ancaman karena efek pencucuian tanah yang membahayakan baik air permukaan maupun air tamah (Ulrich, 2009).

Bappeda Gunungkidul (2010) menyebutkan bahwa kondisi pengolahan grey water (air limbah dari kegiatan mencuci dan mandi) di Kawasan Karst Gunungkidul hanya dibuang di permukaan (86%) dan hanya 14% yang mendaur ulang atau menggunakan kembali air limbahnya. Kegiatan menggunakan kembali grey water meliputi 53% menggunakan kembali air limbahnya untuk menyiram tanaman, 38% untuk peternakan dan perikanan dan sisanya untuk memandikan ternak. Pembuangan air limbah ke permukaan tanah menyebabkan bau yang tidak sedap dan kondisi tanah yang berlunpur seperti yang disebutkan oleh 55% dari total responden. Kondisi semacam, ini juga dapat menyebabkan pencemaran airtanah mengingat kemampuan kawasan karst meresapkan air sangatlah tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Gunungkidul. 2010. Buku Putih Sanitasi. Naskah tidak dipublikasikan.
Nayono, S., Lehn, H., Kopfmuller, J. dan Londong, J. 2011. Options for Decentralized Waste Water Teratment in Rural Karst Area in Gunungkidul: Social Acceptance. Makalah dalam Asian Trans-Disciplinary Karst Conference 2011 Tanggal 7-10 Januari 2011. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Ulrich, A.,Reuter, S. dan Gutterer, B. 2009. Decentralized Waste Water Treatment Systems and sanitation in Developing Countries. United Kingdom: Loughborough University.

Senin, 20 Februari 2012

Kawasan Karst

Oleh:
Ahmad Cahyadi

Karst adalah bentuklahan yang secara dominan terbentuk akibat pelarutan batuan (Veni dan DuChene, 2001). Ford dan Williams (1992) mendifinisikan karst sebagai medan dengan karakteristik hidrologi dan bentuklahan yang diakibatkan oleh kombinasi batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang dengan baik. Worosuprojo (1997) secara lebih jelas menjelaskan bahwa kawasan karst dapat terbentuk apabila terpenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

1. Terdapat batuan yang mudah larut, kompak, tebal dan mempunyai banyak retakan. Batuan yang mudah larut dapat berupa gamping, dolomit dan gipsum. Semakin tinggi kemurnian batuannya, maka proses pelarutan akan semakin baik.
2. Memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Faktor curah hujan menjadi sangat penting karena hujan merupakan media pelarut dalam proses karstifikasi. Oleh karena itu, maka semakin tinggi curah hujan maka proses pelarutan akan semakin intensif.
3. Batuan yang mudah larut terangkat di ketinggian yang memungkinkan perkembangan sirkulasi atau drainase secara vertikal. Syarat ini penting ada agar terjadi jarak yang cukup antara batuan gamping yang tidak jenuh air dengan muka airtanah, sehingga mampu terbentuk drainase air secara vertikal. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi batuan karbonat terangkat, maka proses karstifikasi akan semakin intensif.

Worosuprojo (1997) menyatakan bahwa karst adalah suatu kawasan yang mempunyai karakteristik yang khas, baik pada wilayah permukaan (eksokarst), dan bawah permukaan (endokarst) akibat adanya proses pelarutan (solusional) pada batuan karbonat. Bentukan eksokarst misalnya bukit karst, menara karst, dan telaga (logva), sedangkan bentukan endokarst terdiri dari gua dan berbagai ornamennya. Bentukan yang terdapat di suatu wilayah dengan wilayah yang lain akan berbeda karena memiliki faktor-faktor pembentuk kawasan karst yang berbeda. Misalnya Kawasan Karst Gunungkidul didominasi bentukkan bukit berbentuk mirip kubah, sedangkan Kawasan Karst Maros-Pangkep di Sulawesi Selatan memiliki bukit karst yang berbentuk menyerupai menara.


DAFTAR PUSTAKA
Veni, G. dan DuChene, H. 2001. Living With Karst: A Fragile Foundation. Alexandria: American Geological Institute.
Worosuprojo, S. dkk. 1997. Kajian Ekosistem Karst di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Biro Bina Lingkungan Hidup Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Ford, D. dan Williams, P. 1992. Karst Geomorphology and Hydrology. London: Chapman and Hall

Fungsi Strategis Kawasan Karst Indonesia

Oleh:
Ahmad Cahyadi

Kawasan karst di Indonesia memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyerapan karbondioksida (CO2). Hal tersebut berkaitan dengan posisi Indonesia yang terletak di kawasan tropis, di mana terpengaruh sistem gerakan atmosfer secara global. Gerakan atmosfer secara global yang berpengaruh terhadap kadar karbondioksida (CO2) di wilayah tropis diantaranya adalah gerakan yang ditimbulkan oleh fenomena intertropical convergence zone (ITCZ). Keberadaan ITCZ menyebabkan terjadinya gerakan massa udara dari 300 LU dan 300 LS menuju wilayah tropis. Hal tersebut tentunya tidak hanya membawa massa udara saja, tetapi membawa uap air, gas-gas penyebab efek rumah kaca dan lain-lain. Oleh karena itu, penyerapan karbondioksida (CO2) oleh kawasan karst di daerah tropis menjadi sangat penting dalam upaya mencegah atau mengurangi dampak pemanasan global akibat konsentrasi karbondioksida (CO2) yang berlebihan.
Curah hujan menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses karstifikasi. Karstifikasi hanya terjadi apabila kawasan batuan karbonat terletak pada wilayah dengan curah hujan lebih dari 250 mm/tahun, semakin besar curah hujannya maka proses karstifikasi akan berjalan dengan lebih intensif. Hal ini berarti bahwa proses karstifikasi di kawasan karst Indonesia akan berlangsung dengan sangat intensif karena Indonesia yang terletak di daerah tropis yang memiliki curah hujan tinggi. Pengaruh curah hujan terhadap kecepatan pelarutan batuan gamping dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Putro (2010) yang menyebutkan bahwa proses pelarutan yang terjadi di Kawasan Karst Jonggrangan, Kabupaten Kulon Progo dengan curah hujan rata-rata 2.516 mm/tahun ternyata lebih besar dibandingkan dengan kecepatan pelarutan yang terjadi di Karst Gunungsewu di Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan yang memiliki curah hujan rata-rata curah hujan 2.051 mm/tahun. Berikut hasil kajian yang telah dilakukan oleh Putro (2010):



Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka kemudian dapat pula diperhitungkan jumlah penyerapan karbondioksida (CO2) pada masing-masing wilayah. Penyerapan karbondioksida (CO2) di Kawasan Karst Jonggrangan oleh proses pelarutan batu gamping adalah sebesar 5,16 ton/tahun/km2, sedangkan penyerapan karbondioksida (CO2) di Kawasan Karst Gunungsewu oleh proses pelarutan batu gamping adalah sebesar 2,26 ton/tahun/km2. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka berarti bahwa Kawasan Karst Jonggrangan yang memiliki luas kurang lebih 25 km2 berpotensi menyerap karbondioksida (CO2) sebesar 12.900 ton/tahun, sedangkan Kawasan Karst Gunungsewu yang memiliki luas 1.300 km2 berpotensi menyerap karbondioksida (CO2) sebesar 293.800 ton/tahun.

DAFTAR PUSTAKA
Putro. 2010. Laju Pelarutan Batuan Karbonat di Karst Gunungsewu dan Karst Jonggrangan. Skripsi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

*artikel ini adalah sebagian dari makalah saya "PENGELOLAAN KAWASAN KARST DAN PERANANNYA DALAM SIKLUS KARBON DI INDONESIA" dalam Seminar Nasional Perubahan Iklim di Indonesia 13 Oktober 2010 Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta

Perhitungan Karbondioksida yang Terserap dari Atmosfer oleh Proses Pelarutan Batuan Karbonat

Oleh:
Ahmad Cahyadi

Peranan kawasan karst dalam penyerapan karbondioksida pertama kali diperkenalkan dalam program dari UNESCO/IUGS IGCP 299 dengan tema program “Geologi, Iklim, Hidrologi dan Formasi Karst” pada tahun 1990-1994, dan kemudian diteruskan dalam UNESCO/IUGS IGCP 379 yang bertemakan “Karstifikasi dan Siklus Karbon” pada tahun 1995-1999 (Daoxian, 2002). Pedoman IGCP 299 adalah untuk menginvestigasi morfologi karst dan hubungannya dengan kondisi lingkungan seperti; air, panas, energi kimia dan bioenergi serta kemudian menentukan mekanisme fisika-kimia dari bentukkan karst. Kesimpulan dari IGCP 299 mengindikasikan bahwa studi karst bisa sangat membantu untuk memahami siklus karbon global dan dengan demikian dapat berkontribusi lebih jauh untuk memahami perubahan global. Oleh karena itu, maka kemudian muncul program kedua yakni UNESCO/IUGS IGCP 379 yang bertujuan untuk:
a. Untuk menghitung kontribusi dari batuan karbonat dan proses-proses di kawasan karst untuk mengisi CO2 di atmosfer;
b. Untuk membandingkan keseimbangan CO2 tahunan antara atmosfer dan sistem karst dalam lingkungan geologi, iklim, dan ekologi yang berbeda;
c. Untuk menentukan asal mula dan jumlah emisi CO2 tahunan ke dalam atmosfer dari kawasan karst dengan aktivitas geotermal atau volkanik atau patahan aktif, terutama di daerah dekat dengan batas lempeng;
d. Untuk menyediakan informasi tentang proses-proses perubahan lingkungan setelah akhir pleistoisen dalam sebagian besar kawasan karst dunia, terutama pada suatu wilayah dengan tanpa bagian lingkungan masa lalu.

Hasil penelitian yang dikeluarkan dari program tersebut diantaranya adalah bahwa penyerapan karbon tahunan secara global dari atmosfer oleh proses karstifikasi diperkirakan sekitar 1,5x109 ton per tahun, dan karst di China berkontribusi sebesar 9,46x108 ton per tahun (Daoxian, 2002). Perhitungan tersebut dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:


Keterangan:
C =Volume karbondioksida yang terserap dalam proses karstifikasi (m3/year/km2)
Q = Runoff (Presipitasi – Evaporasi) (dm)
HCO3 = Konsentrasi CaCO3 dalam air yang keluar melalui mata air (mg/l)

DAFTAR PUSTAKA
Daoxian, Yuan. 2002. The Carbon Cycle in Karst.

*makalah ini adalah sebagian kecil dari makalah saya dengan judul "PENGELOLAAN KAWASAN KARST DAN PERANANNYA DALAM SIKLUS KARBON DI INDONESIA" dalam Seminar Nasional Perubahan Iklim di Indonesia 13 Oktober 2010 Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta

Urgensi Kajian Kondisi Sanitasi Kawasan Karst Gunungsewu

Oleh:
Ahmad Cahyadi
Karst adalah sebuah istilah dalam Bahasa Jerman yang diturunkan dari Bahasa Slovenia yang berarti lahan gersang berbatu (Haryono dan Adji, 2004). Istilah tersebut sebenarnya menggambarkan kondisi yang sering ditemui di banyak daerah yang berbatuan karbonat atau batuan lain yang memiliki sifat mudah larut. Definisi yang lebih spesifik diungkapkan oleh Ford dan Williams (1992) yang mendifinisikan karst sebagai medan dengan karakteristik hidrologi dan bentuklahan yang diakibatkan oleh kombinasi batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang dengan baik. Akibat terjadinya proses pelarutan (solusional/karstifikasi), maka terbentuklah suatu sistem hidrologi yang unik. Sistem hidrologi kawasan karst sangat dipengaruhi oleh porositas sekunder (aliran airtanah melalui celah-celah pelarutan) yang menyebabkan air masuk ke dalam sistem aliran bawah tanah dan menyebabkan kondisi kering di permukaan tanah.

Ketiadaaan air permukaan menyebabkan airtanah menjadi sumber air bersih yang sangat potensial di kawasan karst, tidak terkecuali di kawasan karst yang terletak di Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan Karst Gunungkidul hanya terletak di bagian selatan dan timur Kabupaten Gunungkidul, namun airtanah dari kawasan karst ini telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih di hampir seluruh wilayah Kabupaten Gunungkidul. Suryono (2006) menyebutkan bahwa sistem pemenuhan kebutuhan air di Kawasan Karst Gunungkidul dan sekitarnya dibagi menjadi empat, yakni:

1.Sistem Airtanah Bribin yang memenuhi kebutuhan air bersih di Kecamatan Rongkop, Kecamatan Girisubo, Kecamatan Tepus, dan Kecamatan Semanu;
2.Sistem Airtanah Seropan yang memenuhi kebutuhan air bersih di Kecamatan Ponjong, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Karangmojo, Kecamatan Semin, dan Kecamatan Semanu;
3.Sistem airtanah Ngobaran yang memenuhi kebutuhan air bersih di Kecamatan Saptosari, Kecamatan Paliyan, Kecamatan Panggang dan Kecamatan Purwosari; dan
4.Sistem airtanah Baron yang melayani kebutuhan air bersih Kecamatan Tanjungsari.

Meskipun airtanah Kawasan Karst Gunungkidul merupakan sumber air bersih yang potensial, karakteristik batuan gamping yang memiliki banyak celah dan rongga-rongga pelarutan menyebabkan airtanah kawasan karst memiliki kerentanan terhadap pencemaran lebih tinggi dibandingkan kawasan lain (Leibundgut, 1998). Adji (2006) lebih lanjut menjelaskan bahwa pelarutan batuan batuan gamping menyebabkan terbentuknya jaringan air bawah tanah yang berupa lorong-lorong dan saluran-saluran, baik yang berukuran besar (conduit) dan kecil (fissure) sehingga proses penyaringan (filtering) terhadap bahan pencemar menjadi sangat sedikit. Selain itu, lapisan tanah yang tipis di kawasan karst juga menyebabkan penyaringan dan peruraian (breakdown) mikroorganisme dan pencemar, baik secara kimia ataupun fisika sangat sedikit.
Sanitasi merupakan kebutuhan setiap orang. Sanitasi yang dimaksud dalam penulisan karya tulis ini hanya mencakup pembuangan air limbah yang berasal dari kegiatan mandi, cuci dan kakus (MCK). Sanitasi merupakan salah satu faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran airtanah di kawasan karst. Pendugaan ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusumayudha (2005) yang menyebutkan 8 sampel air yang diambil dari 8 lokasi aliran bawah tanah karst di Gunungkidul telah tercemar oleh Bakteri Escherecia Coli, yang diperkirakan berasal dari sanitasi yang tidak dikelola dengan baik. Hal serupa juga dikemukakan oleh Haryono (2001) yang menyebutkan 5 dari 11 mataair di Kecamatan Ponjong telah mengalami pencemaran oleh Bakteri Escherecia Coli. Oleh karena airtanah Kawasan Karst Gunungkidul begitu penting untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Kabupaten tersebut, maka usaha untuk menjaga kelestariannya baik secara kuantitas dan kualitas harus terus dilakukan. Oleh karena itu, kajian terkait dengan kondisi sanitasi di Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul menjadi sangat penting untuk dapat mengetahui kondisi dan peranannya dalam pencemaran airtanah di Kawasan Karst Gunungkidul serta sebagai dasar untuk perencanaan pengelolaan sanitasi yang lebih baik pada masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
Adji, T.N. 2006. Peranan Geomorfologi dalam Kajian Kerentanan Air Bawah Tanah Karst. Gunung Sewu Indonesian Cave and Karst Journal, vol 2 (1), 37-52.
Ford, D. dan Williams, P. 1992. Karst Geomorphology and Hydrology. London: Chapman and Hall.
Haryono, Eko. 2001. Nilai Hidrologis Bukit Karst. Makalah Seminar Nasional Eko-Hidrolik, 28-29 Maret 2001. Yogyakarta: Jurusan Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada.
Haryono, E. dan Adji, T.N. 2004. Pengantar Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Yogyakarta: Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Kusumayudha, S.B. 2005. Hidrogeologi Karst dan Geometri Fraktal di Daerah Gunungkidul. Yogyakarta: Adi Cita.
Leibundgut, C. 1998. Karst Hydrology; Proceedings of Workshop W2, no. 247. Rabat, Maroco: IAHS Publication.
Suryono, T. 2006. Pengelolaan Sumber Air Bawah Tanah Sungai Bribin. Gunung Sewu Indonesian Cave and Karst Journal, vol 2 (1), 37-52.

Urgensi Kajian Kekeringan

Perubabahan iklim telah menjadi permasalahan global, hal ini nampak dari diterimanya secara universal hasil konvensi PBB tentang perubahan iklim (UN Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) pada konferensi tingkat tinggi (KTT) bumi tentang lingkungan dan pembangunan (UN Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil Tahun 1992 (Murdiyarso, 2005). Perubahan iklim telah menyebabkan banyak dampak negatif bagi kehidupan manusia (Ratag, 2008). Beberapa dampak perubahan iklim diantaranya adalah (1) Tren peningkatan curah hujan yang dilaporkan di Argentina (Viglizzo dkk,1995) serta di Australia dan Selandia Baru (Plummer dkk, 1999) dan (2) terjadinya tren penurunan curah hujan yang menyebabkan terjadinya kekeringan di Iran (Marsoudi dan Afrough, 2011), Afrika (Mason, 1996), dan Cina (Zhai et al. 1999).

Kekeringan meteorologi didefinisikan sebagai suatu kejadian yang berlangsung secara alami dan dapat terjadi secara berulang karena berkurangnya curah hujan dari kondisi normalnya (Rafiuddin dkk, 2011). Pengertian yang lain dikemukakan oleh US Weather Bureau dalam Ven Te Chow (1964) bahwa kekeringan adalah berkurangnya curah hujan yang cukup besar dan berlangsung lama yang dapat mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan pada suatu daerah dan akan menyebabkan berkurangnya cadangan air untuk keperluan hidup seharihari maupun kehidupan tanaman. Pengertian serupa dikemukakan oleh Dickerson dan Dethier (1970) bahwa kekeringan adalah penurunan jumlah curah hujan yang signifikan dari kondisi normal dalam waktu yang cukup lama dengan cakupan yang cukup luas.

Kajian mengenai kekeringan menjadi sangat penting karena kekeringan telah menyebabkan banyak kerugian bagi manusia. Setidaknya terdapat lima (5) alasan yang menjadikan kajian terhadap kekeringan menjadi begitu penting, yaitu; (a) Kekeringan adalah suatu kejadian yang tidak dapat dicegah, namun kajian tentangnya dapat digunakan untuk merencanakan upaya-upaya untuk menghadapinya sehingga risiko yang mungkin timbul akan semakin kecil, (b) Ketepatan prediksi tentang kondisi kekeringan pada masa mendatang akan menentukan keefektifan program yang direncanakan, sehingga kajian tentang metode prediksi kekeringan harus terus dicoba, (c) Kesiapsiagaan yang rendah akan menyebabkan dampak kekeringan menjadi semakin parah, (d) Hasil kajian prediksi kekeringan akan menentukan kebijakan yang akan diambil pada masa mendatang, dan (e) Kekeringan tidak hanya akan berdampak pada lokasi yang mengalami kekeringan, namun akan meluas karena terkait dengan sektor ekonomi dan pangan serta ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan banyak orang (Rafiuddin dkk, 2011).

DAFTAR PUSTAKA
Dickerson, W.H., dan Dethier, B.E. 1970. Drought Frequency in The Northeastern United States. Morgantown: West Virginia University.
Mason, S.J. 1996. Climatic Change Over the Lowveld of South Africa. Climatic Change, Vol. 32. Hal: 35-54.
Masoudi, M., Afrough, E. 2011. Analyzing Trends of Precipitation for Humid, Normal and Drought Classes using Standardized Precipitation Index (SPI), A Case of Study: Fars Province, Iran. International Journal of AgriScience Vol. 1(2). Hal: 58-69.
Murdiyarso, Daniel. 2005. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit buku Kompas.
Plummer N, Salinger MJ, Nicholls N, et al. (1999) Changes in Climate Extremes over The Australian Region and New Zealand During The Twentieth Century. Climatic Change, Vol. 42. Hal:183-202.
Rafiuddin, M., Dash, B.K., Khanam, F., Islam, M.N. 2011. Diagnosis of Drought in Bangladesh using Standardized Precipitation Index. International Conference on Environment Science and Engineering vol.8. Singapore: IACSIT Press.
Ratag, Mezak Arnold. 2008. Perubahan Iklim: Isu-Isu Ilmiah. Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika.
Ven Te Chow. 1964. Handbook of Applied Hydrology: A Compendium of Water-resources Technology. New York: McGraw-Hill.
Viglizzo, E.F., Roberto, Z.E., Filippin, M.C., Pordomingo, A.J. 1995. Climate Variability and Agroecological Change in The Central Pampas of Argentina. Agriculture, Ecosystems & Environment, Vol. 55. Hal:7-16.
Zhai, P.M., Sun, A.J., Ren, F.M., Liu, X.L., Gao, B., Zhang, Q. 1999. Changes of Climate Extremes in China. Climatic Change, Vol. 42. Hal: 203-218.
** artikel ini merupakan sebagaian makalah saya dalam seminar aplikasi PJ dan SIG di UMS Surakarta 2012.