Gerakan lingkungan yang merupakan salah
satu gerakan terbesar dunia di samping gerakan demokrasi dan HAM setidaknya telah
bergaung sejak Tahun 1962 ketika Rachel Carson menulis buku The Silent Spring.
Namun demikian, baru pada Tahun 1988 negara-negara di dunia merasa perlu
membicarakannya dalam konferensi tingkat tinggi (KTT). Salah satu isi pertemuan
itu diantaranya adalah membahas tentang isu perubahan iklim. Pertemuan ini mengamanatkan bagi
World Meteorological Organization
(WMO) dan United Nation Environment
Programme (UNEP) untuk membentuk Inter-governmental
Panel on Climate Change (IPCC), yang bertugas untuk menilai besaran, skala,
dan masa waktu perubahan iklim, mengukur dampaknya, serta menyususn strategi
untuk menghadapinya
Setelah 25 tahun berlalu, perubahan iklim
tak sekedar menjadi wacana. Kini dampaknya telah banyak dirasakan.
Pesisir Demak Jawa Tengah khususnya yang terletak di Desa Bedono Kecamatan
Sayung, adalah salah satu wilayah yang mengalami perubahan sangat drastis.
Perubahan iklim yang berdampak pada kenaikan muka air laut berkolaborasi dengan
subsidence menjadikan wilayah yang
terkenal dengan tambak bandeng ini sekarang tinggal permukiman yang selalu
tergenang banjir rob. Kenaikan muka air laut rata-rata sekitar 6 cm/Tahun,
namun demikian dampaknya akan semakin besar akibat adanya subsidence yang terjadi karena wilayah pesisir Demak secara geologi
merupakan dataran aluvial yang belum stabil.
Dampak banjir rob tidak hanya berupa abrasi
daratan, tetapi juga berdampak pada hilangnya akses jalan, rusaknya rumah, berubahnya
lahan tambak menjadi laut serta intrusi air laut melalui sungai yang
semakin jauh. Kondisi demikian tidak
hanya mengubah kondisi fisik lingkungan, tetapi kemudian berpengaruh pada
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Masyarakat yang dahulu merupakan petani
tambak, saat ini lebih banyak yang bekerja serabutan di Kota Semarang (lokasi
yang dekat menyebabkan mereka menjadi penglaju). Selain itu, kaum muda-nya
kebanyakan telah menjadi buruh pabrik di Semarang. Tidak hanya itu, banyak
penduduk dengan gelar haji kini sakit stroke.
Bukan tanpa alasan, kondisi demikian terjadi akibat perubahan drastis dari
seorang yang kaya dengan ratusan hektar lahan tambak, menjadi orang yang tidak
lagi memiliki apa-apa.
Hal yang paling ironis adalah kenyataan
bahwa masyarakat yang kini tinggal di wilayah ini adalah mereka yang tidak lagi
memiliki pilihan lain kecuali tetap tinggal. Meraka yang kaya telah
meninggalkan desa itu, sedangkan mereka yang miskin sekuat tenaga
mempertahankan tanah kelahirannya. Bukan karena saking cintanya, tetapi lebih
karena ketiadaan biaya untuk membeli rumah atau bahkan tanah di tempat yang
lain. Mereka beradaptasi dengan meninggikan lantai rumahnya, meninggikan jalan,
membuat timbunan tanah yang tinggi di sekitar rumah atau bahkan bagi sebagian
orang yang tidak lagi punya tenaga yang cukup dalam kondisi tuanya, mereka rela
hidup di dalam rumah yang penuh genangan.
Tahun lalu, saat saya pamit untuk pulang
ke Yogyakarta. Meraka hanya bilang,
“Semoga
masih dipertemukan mas, entah tahun besok desa ini masih ada atau tidak”(Artikel ini merupakan artikel dalam lomba http://sulawesiwisdom.blogspot.com/ yang diselenggarakan oleh http://www.samdhana.org/ dan http://www.jurnalcelebes.org/index.php?option=com_content&view=frontpage&Itemid=1