Kamis, 20 Mei 2010

ZONASI KAWASAN KARST DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENJAGA FUNGSI PENYERAPAN KARBONDIOKSIDA

(Essay dalam Earth's Challenge Himagreto IPB Bogor)

Ahmad Cahyadi

Mahasiswa Geografi dan Ilmu Lingkungan Angkatan 2007

Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

ahya.edelweiss@gmail.com

Karst adalah sebuah istilah dalam Bahasa Jerman yang diturunkan dari Bahasa Slovenia yang berarti lahan gersang berbatu. Istilah tersebut sebenarnya menggambarkan kondisi yang sering ditemui di banyak daerah yang berbatuan karbonat atau batuan lain yang memiliki sifat mudah larut. Akibat terjadinya proses pelarutan (solusional/karstifikasi), maka terbentuklah suatu sistem hidrologi yang unik. Sistem hidrologi kawasan karst sangat dipengaruhi oleh porositas sekunder yang menyebabkan air masuk ke dalam sistem aliran bawah tanah dan menyebabkan kondisi kering di permukaan.

Karbondioksida (CO2) dan Pemanasan Global

Karbondioksida adalah molekul yang tersusun atas unsur karbon dan oksigen. Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu penyebab pemanasan global selain beberapa gas lain seperti CH4, CFC, N2O, dan O3. Gas karbondioksida (CO2) dipakai sebagai komparasi terhadap kenaikan temperatur akibat adanya kenaikan gas rumah kaca karena memberi kontribusi terbesar dalam pemanasan global yakni 50%, sedangkan gas CFC berkontribusi sebesar 20%, CH4 sebesar 15%, O3 sebesar 8% dan NOx berkontribusi sebesar 7%.

Meskipun karbondioksida (CO2) berkontribusi paling besar, sebenarnya karbondioksida (CO2) memilki nilai global warming potential (GWP) terkecil dibandingkan dengan gas rumah kaca yang lain. Kontribusi yang besar disebabkan karena konsentrasinya terbesar dibandingkan gas rumah kaca yang lain, yakni mencapai 800 gigaton karbon di atmosfer. Hal ini diantaranya disebabkan karena senyawa CO, CH4, dan senyawa hidrokarbon nonmetan lainnya pada akhirnya akan berubah menjadi karbondioksida (CO2), misalnya karbonmonoksida (CO) akan berubah menjadi karbondioksida (CO2) setelah 2-3 bulan terbantuk.

Keterkaitan Karst dan Karbondioksida (CO2)

Penyerapan karbondioksida (CO2) di kawasan karst terjadi pada proses karstifikasi. Proses ini diawali dengan larutnya karbondioksida (CO2) di dalam air membentuk H2CO3. Larutan H2CO3 bersifat tidak stabil sehingga terurai menjadi HCO32- dan H+. Ion H+ inilah yang kemudian akan menguraikan batugamping (CaCO3) menjadi Ca2+ dan HCO3-. Proses karstifikasi berlangsung dengan kesetimbangan reaksi kimia tertentu, di mana setiap pelarutan 1000 kg batugamping (CaCO3) akan diikuti dengan penyerapan karbondioksida (CO2) sebanyak 120 kg. Berikut ini adalah reaksi yang terjadi pada proses karstifikasi:

H2O + CO2 + CaCO3 <---> Ca2+ + 2HCO3-

Fungsi Strategis Kawasan Karst Indonesia

Kawasan karst di Indonesia memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyerapan karbondioksida (CO2). Hal tersebut berkaitan dengan posisi Indonesia yang terletak di kawasan tropis, di mana terpengaruh sistem gerakan atmosfer secara global. Gerakan atmosfer secara global yang berpengaruh terhadap kadar karbondioksida (CO2) di wilayah tropis adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adalah intertropical convergence zone (ITCZ). Keberadaan ITCZ menyebabkan terjadinya gerakan massa udara dari 300 LU dan 300 LS menuju wilayah tropis. Hal tersebut tentunya tidak hanya membawa massa udara saja, tetapi membawa uap air ,gas-gas penyebab efek rumah kaca dan lain-lain. Oleh karena itu penyerapan karbondioksida (CO2) oleh kawasan karst di daerah tropis menjadi sangat penting dalam upaya mencegah atau mengurangi dampak pemanasan global.

Curah hujan menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses karstifikasi. Karstifikasi hanya terjadi apabila kawasan batuan karbonat terletak pada wilayah dengan curah hujan lebih dari 250mm/tahun, semakin besar curah hujannya maka proses karstifikasi akan berjalan dengan lebih intensif. Hal ini berarti bahwa proses karstifikasi di kawasan karst Indonesia akan berlangsung dengan sangat intensif karena Indonesia yang terletak di daerah tropis yang memiliki curah hujan tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryono dan Adji pada tahun 2009 dengan judul “Atmospheric Carbondioxide Sequestration Trough Karst Denudation Process (Preliminary Estimation from Gunung Sewu Karst Area)” menunjukkan bahwa karbondioksida (CO2) yang dapat diserap oleh kawasan karst Gunungsewu dengan luas 1.300 km2 adalah 72.804 ton per tahun.

Permasalahan Kawasan Karst di Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Penyerapan Karbondioksida (CO2)

Fungsi penyerapan karbondioksida (CO2) di kawasan karst di Indonesia dewasa ini menjadi terganggu akibat adanya penambangan batu gamping. Penambangan batu gamping di kawasan karst di Indonesia dilakukan dengan cara overburden (pengelupasan) kerucut karst baik secara manual dengan tenaga manusia ataupun dengan menggunakan alat berat. Proses penambangan ini menyebabkan hilangnya lapisan epikarst pada batuan gamping sehingga proses karstifikasi tidak dapat terjadi.

Lapisan epikarst adalah lapisan tipis yang berda di bagian atas batuan gamping yang terbentuk oleh tanah atau rekahan-rekahan yang mampu menyimpan air. Proses karstifikasi sangat tergantung dengan keberadaan lapisan epikarst karena kemampuan meloloskan air batuan gamping rendah sehingga dibutuhkan suatu lapisan penyimpan air yang berguna untuk menampung air selama belum terloloskan di dalam batuan gamping. Setelah air melewati pori-pori batuan gamping, maka proses karstifikasi baru akan dimulai. Ketiadaan lapisan epikarst akan menyebabkan air langsung mengalir sebagai aliran permukaan (runoff) sehingga dalam waktu singkat akan mudah mengalami penguapan dan tidak menyebabkan terjadinya karstifikasi.

Zonasi Kawasan Karst sebagai Salah Satu Solusi

Zonasi kawasan karst adalah pengelompokkan kawasan karst berdasarkan pada tingkat kasrtifikasi yang terjadi. Hal ini karena tidak semua wilayah dengan batuan karbonat dapat membentuk kawasan karst. Tingkat perkembangan karst pada batuan karbonat ditentukan oleh beberapa syarat berikut ini:

a. Terdapat batuan yang mudah larut, kompak, tebal dan mempunyai banyak retakan. Batuan yang mudah larut dapat berupa gamping, dolomit dan gipsum. Semakin tinggi kemurnian batuannya, maka proses pelarutan akan semakin baik. Pembentukan topografi karst memerlukan minimal 50% kemurnian dari batuan yang terlarut, namun demikian proses karstifikasi akan berjalan baik apabila kandungan batuan yang mudah larut adalah lebih dari 90% tetapi kurang dari 96%.

b. Memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Faktor curah hujan menjadi sangat penting karena hujan merupakan media pelarut dalam proses karstifikasi. Oleh karena itu, maka semakin tinggi curah hujan maka proses pelarutan akan semakin intensif.

c. Batuan yang mudah larut terangkat di ketinggian yang memungkinkan perkembangan sirkulasi atau drainase secara vertikal. Syarat ini penting ada agar terjadi jarak yang cukup antara batuan gamping yang tidak jenuh air dengan muka airtanah, sehingga mampu terbentuk drainase air secara vertikal. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi batuan karbonat terangkat, maka proses karstifikasi akan semakin intensif.

Wilayah dengan batuan karbonat yang tidak mengalami karstifikasi memiliki risiko pemanfaatan yang lebih kecil dibandingkan dengan kawasan karst yang berkembang dengan baik. Oleh karena itu dengan adanya zonasi kawasan karst ini maka kemudian dapat disusun suatu rencana pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Misalnya dengan memindahkan lokasi penambangan batu gamping ke wilayah berbatuan gamping yang tidak mengalami karstifikasi atau proses karstifikasi berkembang tidak intensif, sehingga fungsi hidrologis dan penyerapan karbondioksida (CO2) di kawasan karst tidak terganggu.

Proses zonasi kawasan karst dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh untuk lebih mudah dalam melakukan delineasi suatu kawasan karst. Kawasan karst yang berkembang baik akan dicirikan dengan terbentuknya kerucut-kerucut karst atau menara karst, banyak dijumpai dolin dan memiliki topografi yang sangat kasar serta tidak diketemukan adanya sungai permukaan. Kawasan karst berkembang sedang dicirikasi dengan bentukan yang lebih halus dan mulai diketemukan aliran permukaan yang pendek dan hilang di suatu tempat (lembah buta). Meskipun demikian, proses ini harus ditindak lanjuti dengan menggabungkan dengan data spasial lain seperti peta geologi, peta rupa bumi, serta dilakukan survei lapangan untuk mengetahui tingkat kebenaran delineasi yang telah dilakukan.

Rekomendasi

Zonasi kawasan karst saat ini belum dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia yang memiliki kawasan karst sehingga penyusunan rencana pembangunan dan rencana tata ruang daerah belum mempertimbangkan kemungkinan untuk meminimalisir suatu dampak lingkungan akibat kegiatan eksploitasi di kawasan karst. Mengingat pentingnya zonasi kawasan karst dalam menunjang pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, maka diperlukan suatu aturan yang mewajibkan dilakukannya proses zonasi kawasan karst dalam membuat rencana pemanfaatan kawasan karst atau rencana tata ruang wilayah yang berisi pula tentang standar-standar serta aturan-aturan teknis untuk melakukan zonasi tersebut, sehingga eksploitasi di kawasan karst dapat diminimalisir dampaknya, termasuk dapat menjaga fungsi hidrologis dan penyerapan karbondioksida (CO2) di kawasan karst di Indonesia.

2 komentar:

  1. assalamu'alaykum...
    mas adi...
    ini kok blognya isinya batu semua?
    benar benar pencinta batu....^^

    trus, foto profilnya itu di gunung mana?
    bagus-bagus...
    udah pernah naik gunung gede pangrango blum?
    saya sarankan untuk mendakinya...
    hmm.kalau gunung batur di bali (walaupun masih banyak terdapat bunga edelweis yang bisa dipungut) tapi agak gersang...

    tahun kemarin saya ngerayain milad di gunung Batur, Bali...
    hadiahnya, dikasi bunga adelweiss colongan dari teman2..
    hehe..naik gunung memang seru...^^
    Anda konsen kepada batu...kalo saya pas naik gunung konsen ke tumbuhannya...hehe...

    (bawel banget saya ni...) nun sewu nggih...=p

    BalasHapus
  2. makasih okta. selamat dah lolos ke berlin.

    BalasHapus