Senin, 20 Februari 2012

Urgensi Kajian Kondisi Sanitasi Kawasan Karst Gunungsewu

Oleh:
Ahmad Cahyadi
Karst adalah sebuah istilah dalam Bahasa Jerman yang diturunkan dari Bahasa Slovenia yang berarti lahan gersang berbatu (Haryono dan Adji, 2004). Istilah tersebut sebenarnya menggambarkan kondisi yang sering ditemui di banyak daerah yang berbatuan karbonat atau batuan lain yang memiliki sifat mudah larut. Definisi yang lebih spesifik diungkapkan oleh Ford dan Williams (1992) yang mendifinisikan karst sebagai medan dengan karakteristik hidrologi dan bentuklahan yang diakibatkan oleh kombinasi batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang dengan baik. Akibat terjadinya proses pelarutan (solusional/karstifikasi), maka terbentuklah suatu sistem hidrologi yang unik. Sistem hidrologi kawasan karst sangat dipengaruhi oleh porositas sekunder (aliran airtanah melalui celah-celah pelarutan) yang menyebabkan air masuk ke dalam sistem aliran bawah tanah dan menyebabkan kondisi kering di permukaan tanah.

Ketiadaaan air permukaan menyebabkan airtanah menjadi sumber air bersih yang sangat potensial di kawasan karst, tidak terkecuali di kawasan karst yang terletak di Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan Karst Gunungkidul hanya terletak di bagian selatan dan timur Kabupaten Gunungkidul, namun airtanah dari kawasan karst ini telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih di hampir seluruh wilayah Kabupaten Gunungkidul. Suryono (2006) menyebutkan bahwa sistem pemenuhan kebutuhan air di Kawasan Karst Gunungkidul dan sekitarnya dibagi menjadi empat, yakni:

1.Sistem Airtanah Bribin yang memenuhi kebutuhan air bersih di Kecamatan Rongkop, Kecamatan Girisubo, Kecamatan Tepus, dan Kecamatan Semanu;
2.Sistem Airtanah Seropan yang memenuhi kebutuhan air bersih di Kecamatan Ponjong, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Karangmojo, Kecamatan Semin, dan Kecamatan Semanu;
3.Sistem airtanah Ngobaran yang memenuhi kebutuhan air bersih di Kecamatan Saptosari, Kecamatan Paliyan, Kecamatan Panggang dan Kecamatan Purwosari; dan
4.Sistem airtanah Baron yang melayani kebutuhan air bersih Kecamatan Tanjungsari.

Meskipun airtanah Kawasan Karst Gunungkidul merupakan sumber air bersih yang potensial, karakteristik batuan gamping yang memiliki banyak celah dan rongga-rongga pelarutan menyebabkan airtanah kawasan karst memiliki kerentanan terhadap pencemaran lebih tinggi dibandingkan kawasan lain (Leibundgut, 1998). Adji (2006) lebih lanjut menjelaskan bahwa pelarutan batuan batuan gamping menyebabkan terbentuknya jaringan air bawah tanah yang berupa lorong-lorong dan saluran-saluran, baik yang berukuran besar (conduit) dan kecil (fissure) sehingga proses penyaringan (filtering) terhadap bahan pencemar menjadi sangat sedikit. Selain itu, lapisan tanah yang tipis di kawasan karst juga menyebabkan penyaringan dan peruraian (breakdown) mikroorganisme dan pencemar, baik secara kimia ataupun fisika sangat sedikit.
Sanitasi merupakan kebutuhan setiap orang. Sanitasi yang dimaksud dalam penulisan karya tulis ini hanya mencakup pembuangan air limbah yang berasal dari kegiatan mandi, cuci dan kakus (MCK). Sanitasi merupakan salah satu faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran airtanah di kawasan karst. Pendugaan ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusumayudha (2005) yang menyebutkan 8 sampel air yang diambil dari 8 lokasi aliran bawah tanah karst di Gunungkidul telah tercemar oleh Bakteri Escherecia Coli, yang diperkirakan berasal dari sanitasi yang tidak dikelola dengan baik. Hal serupa juga dikemukakan oleh Haryono (2001) yang menyebutkan 5 dari 11 mataair di Kecamatan Ponjong telah mengalami pencemaran oleh Bakteri Escherecia Coli. Oleh karena airtanah Kawasan Karst Gunungkidul begitu penting untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Kabupaten tersebut, maka usaha untuk menjaga kelestariannya baik secara kuantitas dan kualitas harus terus dilakukan. Oleh karena itu, kajian terkait dengan kondisi sanitasi di Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul menjadi sangat penting untuk dapat mengetahui kondisi dan peranannya dalam pencemaran airtanah di Kawasan Karst Gunungkidul serta sebagai dasar untuk perencanaan pengelolaan sanitasi yang lebih baik pada masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
Adji, T.N. 2006. Peranan Geomorfologi dalam Kajian Kerentanan Air Bawah Tanah Karst. Gunung Sewu Indonesian Cave and Karst Journal, vol 2 (1), 37-52.
Ford, D. dan Williams, P. 1992. Karst Geomorphology and Hydrology. London: Chapman and Hall.
Haryono, Eko. 2001. Nilai Hidrologis Bukit Karst. Makalah Seminar Nasional Eko-Hidrolik, 28-29 Maret 2001. Yogyakarta: Jurusan Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada.
Haryono, E. dan Adji, T.N. 2004. Pengantar Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Yogyakarta: Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Kusumayudha, S.B. 2005. Hidrogeologi Karst dan Geometri Fraktal di Daerah Gunungkidul. Yogyakarta: Adi Cita.
Leibundgut, C. 1998. Karst Hydrology; Proceedings of Workshop W2, no. 247. Rabat, Maroco: IAHS Publication.
Suryono, T. 2006. Pengelolaan Sumber Air Bawah Tanah Sungai Bribin. Gunung Sewu Indonesian Cave and Karst Journal, vol 2 (1), 37-52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar