Selasa, 21 Februari 2012

Kondisi Sanitasi dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Airtanah di Kawasan Karst Gunungkidul

Menururt Nayono, dkk (2011), yang melakukan penelitian di Kawasan Karst Gunungkidul dengan melibatkan 355 responden, terdapat tiga sistem sanitasi utama yang digunakan oleh penduduk antara lain toilet pribadi berbentuk leher angsa yang dihubungkan dengan septic tank (68 %), cemplung (30%) dan toilet umum baik leher angsa maupun cemplung (2%). Cemplung merupakan sistem sanitasi rumah tangga paling sederhana yang ditemukan di kawasan karst Gunungkidul. Cemplung memiliki kedalaman rata-rata 1-2 meter dan kadang-kadang bagian atasnya disemen atau ditutupi dengan kayu. Cemplung digunakan oleh kalangan masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah dan atau keterbatasan sumber air. Ketika kondisi ekonomi dan persediaan air meningkat, masyarakat akan berganti untuk menggunakan sistem toilet “leher angsa”. Nayono, dkk (2011) menyebutkan bahwa para pengguna cemplung, sebanyak 40% menyatakan tidak puas dengan kinerja cemplung dan sisanya menyatakan bahwa tidak pernah mengalami masalah. Permasalahan utama dalam penggunaan cemplung adalah kemungkinan cemplung untuk menjadi penuh sehingga tidak bisa digunakan kembali. Kebanyakan cemplung (44%) akan penuh setelah 4-5 tahun. Sedangkan yang lain, ada yang membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun (24%), 2-3 tahun (10%) dan tidak pernah penuh (22%). Selain itu, terdapat beberapa macam cara yang dilakukan oleh pengguna cemplung setelah cemplung menjadi penuh, akan tetapi cara yang dominan digunakan penduduk adalah ditutup dan ditinggalkan (82%), sedangkan cara yang lain antara lain ditutup dan digunakan sebagai tempat pembuangan sampah tradisional (4%), sebagai lokasi penanaman pohon (13%), dan digali untuk kemudian digunakan sebagai pupuk (1%). Sehubungan dengan fakta yang menunjukkan bahwa cemplung yang penuh digunakan untuk lokasi penanaman pohon (13%) dan beberapa digali kemudian diambil isinya untuk digunakan sebagai pupuk (1%) , maka dapat dikatakan bahwa konsep pemulihan sumberdaya (resource recvovery) telah dipraktekkan sejak lama oleh hampir seperlima dari jumlah penduduk setempat. Namun demikian, kondisi sanitasi yang demikian dapat menyebabkan airtanah menjadi tercemar karena air dari sanitasi ini akan meresap dengan sedikit penyaringan oleh tanah.

Nayono, dkk (2011) menyebutkan bahwa pada wilayah penelitian 68% responden menggunakan toilet leher angsa. Sebagian besar toilet tersebut dilengkapi dengan suatu konstruksi sederhana yang mereka sebut sebagai septic tank. Menurut mereka, sebuah septic tank adalah lubang tunggal berpori yang dihubungkan dengan toilet leher angsa menggunakan sebuah pipa. Padahal, sistem yang oleh penduduk setempat dianggap sebagai septic tank ini sebenarnya hanyalah sebuah lubang infiltrasi lanjutan. Menurut 58,2 % responden pemilik sistem ini, permeabilitas merupakan hal yang penting untuk membuat air limbah meresap ke dalam tanah sehingga, sebagian besar sistem yang dianggap sebagai septic tank ini tidak bersifat kedap air karena bagian dasar konstruksi tidak disemen. Lebih jauh lagi, bahan yang dipilih untuk membangun sistem ini kebanyakan merupakan batu berpori seperti batu gamping yang dengan mudah dapat diperoleh di kawasan karst. Sehubungan dengan konstruksi yang tidak sesuai ini, 92,5 % sistem tidak pernah penuh yang diakibatkan oleh sifat permeabilitas sehingga air limbah dapat langsung meresap ke dalam tanah dan dapat menjadi pemicu terjadinya pencemaran tanah dan air tanah. Hal ini umum terrjadi di tanah lempung atau liat yang memiliki suplai oksigen yang rendah sehubungan dengan penutupan pori-pori tanah oleh material tanah yang bersifat padat. Lebih lanjut lagi, pencemaran tanah menimbulkan ancaman karena efek pencucuian tanah yang membahayakan baik air permukaan maupun air tamah (Ulrich, 2009).

Bappeda Gunungkidul (2010) menyebutkan bahwa kondisi pengolahan grey water (air limbah dari kegiatan mencuci dan mandi) di Kawasan Karst Gunungkidul hanya dibuang di permukaan (86%) dan hanya 14% yang mendaur ulang atau menggunakan kembali air limbahnya. Kegiatan menggunakan kembali grey water meliputi 53% menggunakan kembali air limbahnya untuk menyiram tanaman, 38% untuk peternakan dan perikanan dan sisanya untuk memandikan ternak. Pembuangan air limbah ke permukaan tanah menyebabkan bau yang tidak sedap dan kondisi tanah yang berlunpur seperti yang disebutkan oleh 55% dari total responden. Kondisi semacam, ini juga dapat menyebabkan pencemaran airtanah mengingat kemampuan kawasan karst meresapkan air sangatlah tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Gunungkidul. 2010. Buku Putih Sanitasi. Naskah tidak dipublikasikan.
Nayono, S., Lehn, H., Kopfmuller, J. dan Londong, J. 2011. Options for Decentralized Waste Water Teratment in Rural Karst Area in Gunungkidul: Social Acceptance. Makalah dalam Asian Trans-Disciplinary Karst Conference 2011 Tanggal 7-10 Januari 2011. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Ulrich, A.,Reuter, S. dan Gutterer, B. 2009. Decentralized Waste Water Treatment Systems and sanitation in Developing Countries. United Kingdom: Loughborough University.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar