Kamis, 02 Mei 2013

MEREKA YANG MISKIN MENJADI SAKSI HILANGNYA TANAH KELAHIRAN (Senja Kala Pesisir di Tanah Para Wali)

Gerakan lingkungan yang merupakan salah satu gerakan terbesar dunia di samping gerakan demokrasi dan HAM setidaknya telah bergaung sejak Tahun 1962 ketika Rachel Carson menulis buku The Silent Spring. Namun demikian, baru pada Tahun 1988 negara-negara di dunia merasa perlu membicarakannya dalam konferensi tingkat tinggi (KTT). Salah satu isi pertemuan itu diantaranya adalah membahas tentang isu  perubahan iklim. Pertemuan ini mengamanatkan bagi World Meteorological Organization (WMO) dan United Nation Environment Programme (UNEP) untuk membentuk Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC), yang bertugas untuk menilai besaran, skala, dan masa waktu perubahan iklim, mengukur dampaknya, serta menyususn strategi untuk menghadapinya
Setelah 25 tahun berlalu, perubahan iklim tak sekedar menjadi wacana. Kini dampaknya telah banyak dirasakan. Pesisir Demak Jawa Tengah khususnya yang terletak di Desa Bedono Kecamatan Sayung, adalah salah satu wilayah yang mengalami perubahan sangat drastis. Perubahan iklim yang berdampak pada kenaikan muka air laut berkolaborasi dengan subsidence menjadikan wilayah yang terkenal dengan tambak bandeng ini sekarang tinggal permukiman yang selalu tergenang banjir rob. Kenaikan muka air laut rata-rata sekitar 6 cm/Tahun, namun demikian dampaknya akan semakin besar akibat adanya subsidence yang terjadi karena wilayah pesisir Demak secara geologi merupakan dataran aluvial yang belum stabil.
Dampak banjir rob tidak hanya berupa abrasi daratan, tetapi juga berdampak pada  hilangnya akses jalan, rusaknya rumah, berubahnya lahan tambak menjadi laut serta intrusi air laut melalui sungai yang semakin  jauh. Kondisi demikian tidak hanya mengubah kondisi fisik lingkungan, tetapi kemudian berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Masyarakat yang dahulu merupakan petani tambak, saat ini lebih banyak yang bekerja serabutan di Kota Semarang (lokasi yang dekat menyebabkan mereka menjadi penglaju). Selain itu, kaum muda-nya kebanyakan telah menjadi buruh pabrik di Semarang. Tidak hanya itu, banyak penduduk dengan gelar haji kini sakit stroke. Bukan tanpa alasan, kondisi demikian terjadi akibat perubahan drastis dari seorang yang kaya dengan ratusan hektar lahan tambak, menjadi orang yang tidak lagi memiliki apa-apa.
Hal yang paling ironis adalah kenyataan bahwa masyarakat yang kini tinggal di wilayah ini adalah mereka yang tidak lagi memiliki pilihan lain kecuali tetap tinggal. Meraka yang kaya telah meninggalkan desa itu, sedangkan mereka yang miskin sekuat tenaga mempertahankan tanah kelahirannya. Bukan karena saking cintanya, tetapi lebih karena ketiadaan biaya untuk membeli rumah atau bahkan tanah di tempat yang lain. Mereka beradaptasi dengan meninggikan lantai rumahnya, meninggikan jalan, membuat timbunan tanah yang tinggi di sekitar rumah atau bahkan bagi sebagian orang yang tidak lagi punya tenaga yang cukup dalam kondisi tuanya, mereka rela hidup di dalam rumah yang penuh genangan.
Tahun lalu, saat saya pamit untuk pulang ke Yogyakarta. Meraka hanya bilang,
“Semoga masih dipertemukan mas, entah tahun besok desa ini masih ada atau tidak”

(Artikel ini merupakan artikel dalam lomba http://sulawesiwisdom.blogspot.com/ yang diselenggarakan oleh http://www.samdhana.org/ dan http://www.jurnalcelebes.org/index.php?option=com_content&view=frontpage&Itemid=1 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar